Selamat Datang di Blog Arbain

Senin, 15 Desember 2014

RASIALIS
Oleh : Arbain Maksum

Pada masa jahiliyah para pembesar Kuraisy memandang kedudukan, kepangkatan, kekayaan, dan keturunan, adalah derajat yang sangat tinggi, sehingga mencemoohkan orang-orang miskin bukanlah merupakan suatu perbuatan yang buruk.
Sifat ini terbawa sampai pada masa Rasulullah SAW., dapat kita baca pada banyak riwayat betapa Rasulullah Muhammad SAW. mendapat cemoohan dari kaum Jahiliyah.
Adat jahiliah yang suka bersombong-sombong dan bermegah-megah dengan menonjolkan kebesaran nenek moyangnya, sehingga apa yang disembah oleh nenek moyangnya merekapun ikut menyembah tanpa dalil dan hujjah yang jelas.
Mereka juga suka memandang rendah pada orang lain misalnya kepada budak-budak, apalagi jika warna kulit lebih hitam dari kulit mereka.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan, padahal menurut pandangan Allah orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada Nya.
Diriwayatkan oleh Abi Mulaikah tatkala terjadi Futuh Mekah yaitu kembalinya negeri Mekah ke bawah kekuasaan Rasulullah saw pada tahun 8 Hijriah, maka Bilal disuruh Rasulullah saw untuk berazan. Ia memanjat Kakbah dan berazan, berseru kepada kaum muslimin untuk salat berjemaah.
Attab bin Useid ketika melihat Bilal naik ke atas Kakbah untuk berazan, berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku sehingga tidak sempat menyaksikan peristiwa hari ini". Dari Haris bin Hisyam berkata: "Muhammad tidak akan menemukan orang lain untuk berazan kecuali burung gagak yang hitam ini". Maksudnya mencemoohkan Bilal karena warna kulitnya yang hitam
(dikutip dari Tafsir Depag).
Manusia itu hanya dua macam, yakni seorang yang berbuat kebaikan dan bertakwa, dialah yang mulia pada sisi Allah. Dan seorang lagi yang durhaka, dialah yang celaka, yang sangat hina menurut pandangan Allah SWT.
Firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَاالنَّاسُ إِنَّاخَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍوَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًاوَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُواإِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَاللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ{13}
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujuraat : 13)

Islam sangat menentang rasialis. Dimata Allah SWT hanya orang bertakwa yang dimuliakan-Nya, tidak peduli apakah mereka kaya atau miskin.

Lalu bagaimana kiat kita sehingga tidak tergolong sebagai orang yang rasialis?.
Mari kita mencoba dan berikhtiar mengamalkan hal-hal berikut:
1.        Kita sebagai manusia betul-betul menyadari bahwa kita adalah makhluk yang lemah (dho’if) secara fisik, banyak keterbatasan/kekurangan, bodoh (jahil) dan sangat bergantung kepada yang lainnya (fakir). Bersyukurlah setiap saat.
2.        Renungkan asal kejadian kita sebagai manusia, jauhi sifat-sifat  sombong, ujub, takabur, hasad dan sifat tercela lainnya.
3.        Menyadari bahwa kita sama derajatnya dihadapan Allah SWT.,  yang membedakan kemuliaan diantara manusia adalah ketakwaanya kepada Allah SWT.

4.        Berlaku adil, tidak diskriminatif. Tentu perlakuan adil disini tidak harus sama. Kita bisa meneladani sifat Allah yang maha adil. 

Rabu, 03 Desember 2014



UJIAN
Oleh : Arbain Maksum

Adalah seorang pemuda bernama Rizal dengan terpaksa menjadi seorang pengumpul pelastik bekas demi membiayai hidup dan kuliahnya.
Rizal seorang pemuda yang baru menginjak usia 21 tahun, kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta memasuki semester lima, jurusan Teknik Informatika. Prestasinya terhitung baik dengan IPK 3,15.
Sebenarnya dengan IPK segitu sudah bisa untuk mengajukan beasiswa, tapi Rizal tak pernah melakukannya atau lebih tepatnya tak sempat mengajukan permohonan mengajukan beasiswa. Ketika seorang temannya bertanya mengapa dia tidak mencoba menggunakan kesempatan mendapatkan beasiswa, Rizal hanya menjawab, “mana sempat saya berfikir kesana mas, coba saja bayangkan pagi-pagi saya sudah harus nyetor barang-barang ini (sambil menunjuk ke karung berisi pelastik bekas yang sengaja dititipkan di kantin kampus) ke pengepul, dari sana saya dapatkan bayaran yang suka atau tidak sebagian harus saya sisihkan untuk biaya kuliah, sebagian lagi untuk biaya makan sehari-hari. Selanjutnya saya berangkat kuliah sambil melakukan ‘operasi bersih’ alias ngumpulkan pelastik-pelastik bekas, sampai di kampus saya titipkan karung ini ke kantin lagi dengan harapan semoga semakin bertambah, selesai kuliah, ‘operasi bersih’ lagi sampai ke pondokan menjelang magrib, waktu saya belajar tak usah ditanyakan saja ya mas”. “Itu alasan kamu yang pertama ya ?”, sambung teman Rizal itu. “Iya”, jawab Rizal dan dilanjutkan, “yang kedua kamu tau sendiri bahwa untuk mengajukan permohonan kita setidaknya menggunakan komputer dan sejenisnyalah. Memang sih, idealnya mahasiswa Teknik Informatika memiliki komputer atau laptop sendiri untuk mencari info, mendapatkan referensi dan sebagainya, tapi Allah SWT belum mengizinkan saya untuk memilikinya. Uang saya terbatas, ingin pergi ke warnet saja saya harus berfikir 200 kali”. Mendengar itu teman Rizal tersenyum seraya menimpali “Iya kamu adalah salah satu teman terbaikku, taat pada agama, rajin beribadah, sholat tidak pernah bolong, berdo’a paling tekun dan lama, tapi ....”. “Saya tau maksud kamu”, potong Rizal. “Kamu ingin mengatakan bahwa kenapa nasib saya tidak berubah, iya khan?”. Rizal seolah bertanya, “begini temanku”, Rizal melanjutkan, “ada suatu pelajaran dari Allah SWT dalam Al-qur’an surat Al-Ankabuut ayat 2-3:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ {2}
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ {3}              
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: `Kami telah beriman`, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Tanpa terasa mulut Rizal membacakan kedua ayat tersebut yang memang sudah dia hafal, kemudian Rizal melanjutkan cerita, “Dahulu ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan ujian berat yang diterima oleh kaum muslimin ketika akan melakukan hijrah (berpindah) tempat tinggal dengan tekad mempertahankan Islam. Perpindahan ini tentu saja dihalang-halangi kaum musyrik yang tidak jarang menimbulkan korban. Tapi intinya ayat tersebut adalah peringatan dari Allah SWT bahwa setiap orang yang beriman pasti akan mendapatkan suatu ujian untuk meningkatkan derajatnya disisi Allah SWT”. Teman Rizal termenung sejenak, kemudian melanjutkan pertanyaan, “kalau kamu tidak keberatan bisakah kamu ceritakan apa hubungan hijrah itu dengan maaf nasibmu ini temanku”. Sambil menyodorkan segelas air putih Rizal melanjutkan, “begini teman, hijrah dalam hidupku ini bermula ketika ayah dan ibuku mengalami kecelakaan lalu lintas di kota ini beberapa tahun lalu. Dahulu kehidupan kami bertiga lumayan sejahtera, ayah seorang pengusaha bengkel sederhana yang modalnya didapat dari pinjaman bank. Ujungnya setelah ayah dan ibu tidak ada, semua usaha ayah itu disita oleh bank. Mulai saat itulah kehidupan saya berubah 180 derajat. Sekolah dan makan harus mencari sendiri, mulai saat itu pula saya sedikit demi sedikit mengerti arti kerasnya kehidupan. Saya tidak kecewa dengan takdir Allah, karena Allah melarang untuk berputus asa. Allah mungkin tidak mengabulkan apa yang saya ingin dan angankan, namun Allah selalu memberikan apa yang saya butuhkan.”
“Zzzzz...rrr, zzzz....”, jawab teman Rizal.
Rizal menoleh, “Sialan kamu, capek-capek begini malah tidur, bangun, bangun, banguuuun, sana pulang!, asytaqfirullahal adziim”