Selamat Datang di Blog Arbain

Rabu, 03 Desember 2014



UJIAN
Oleh : Arbain Maksum

Adalah seorang pemuda bernama Rizal dengan terpaksa menjadi seorang pengumpul pelastik bekas demi membiayai hidup dan kuliahnya.
Rizal seorang pemuda yang baru menginjak usia 21 tahun, kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta memasuki semester lima, jurusan Teknik Informatika. Prestasinya terhitung baik dengan IPK 3,15.
Sebenarnya dengan IPK segitu sudah bisa untuk mengajukan beasiswa, tapi Rizal tak pernah melakukannya atau lebih tepatnya tak sempat mengajukan permohonan mengajukan beasiswa. Ketika seorang temannya bertanya mengapa dia tidak mencoba menggunakan kesempatan mendapatkan beasiswa, Rizal hanya menjawab, “mana sempat saya berfikir kesana mas, coba saja bayangkan pagi-pagi saya sudah harus nyetor barang-barang ini (sambil menunjuk ke karung berisi pelastik bekas yang sengaja dititipkan di kantin kampus) ke pengepul, dari sana saya dapatkan bayaran yang suka atau tidak sebagian harus saya sisihkan untuk biaya kuliah, sebagian lagi untuk biaya makan sehari-hari. Selanjutnya saya berangkat kuliah sambil melakukan ‘operasi bersih’ alias ngumpulkan pelastik-pelastik bekas, sampai di kampus saya titipkan karung ini ke kantin lagi dengan harapan semoga semakin bertambah, selesai kuliah, ‘operasi bersih’ lagi sampai ke pondokan menjelang magrib, waktu saya belajar tak usah ditanyakan saja ya mas”. “Itu alasan kamu yang pertama ya ?”, sambung teman Rizal itu. “Iya”, jawab Rizal dan dilanjutkan, “yang kedua kamu tau sendiri bahwa untuk mengajukan permohonan kita setidaknya menggunakan komputer dan sejenisnyalah. Memang sih, idealnya mahasiswa Teknik Informatika memiliki komputer atau laptop sendiri untuk mencari info, mendapatkan referensi dan sebagainya, tapi Allah SWT belum mengizinkan saya untuk memilikinya. Uang saya terbatas, ingin pergi ke warnet saja saya harus berfikir 200 kali”. Mendengar itu teman Rizal tersenyum seraya menimpali “Iya kamu adalah salah satu teman terbaikku, taat pada agama, rajin beribadah, sholat tidak pernah bolong, berdo’a paling tekun dan lama, tapi ....”. “Saya tau maksud kamu”, potong Rizal. “Kamu ingin mengatakan bahwa kenapa nasib saya tidak berubah, iya khan?”. Rizal seolah bertanya, “begini temanku”, Rizal melanjutkan, “ada suatu pelajaran dari Allah SWT dalam Al-qur’an surat Al-Ankabuut ayat 2-3:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ {2}
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ {3}              
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: `Kami telah beriman`, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Tanpa terasa mulut Rizal membacakan kedua ayat tersebut yang memang sudah dia hafal, kemudian Rizal melanjutkan cerita, “Dahulu ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan ujian berat yang diterima oleh kaum muslimin ketika akan melakukan hijrah (berpindah) tempat tinggal dengan tekad mempertahankan Islam. Perpindahan ini tentu saja dihalang-halangi kaum musyrik yang tidak jarang menimbulkan korban. Tapi intinya ayat tersebut adalah peringatan dari Allah SWT bahwa setiap orang yang beriman pasti akan mendapatkan suatu ujian untuk meningkatkan derajatnya disisi Allah SWT”. Teman Rizal termenung sejenak, kemudian melanjutkan pertanyaan, “kalau kamu tidak keberatan bisakah kamu ceritakan apa hubungan hijrah itu dengan maaf nasibmu ini temanku”. Sambil menyodorkan segelas air putih Rizal melanjutkan, “begini teman, hijrah dalam hidupku ini bermula ketika ayah dan ibuku mengalami kecelakaan lalu lintas di kota ini beberapa tahun lalu. Dahulu kehidupan kami bertiga lumayan sejahtera, ayah seorang pengusaha bengkel sederhana yang modalnya didapat dari pinjaman bank. Ujungnya setelah ayah dan ibu tidak ada, semua usaha ayah itu disita oleh bank. Mulai saat itulah kehidupan saya berubah 180 derajat. Sekolah dan makan harus mencari sendiri, mulai saat itu pula saya sedikit demi sedikit mengerti arti kerasnya kehidupan. Saya tidak kecewa dengan takdir Allah, karena Allah melarang untuk berputus asa. Allah mungkin tidak mengabulkan apa yang saya ingin dan angankan, namun Allah selalu memberikan apa yang saya butuhkan.”
“Zzzzz...rrr, zzzz....”, jawab teman Rizal.
Rizal menoleh, “Sialan kamu, capek-capek begini malah tidur, bangun, bangun, banguuuun, sana pulang!, asytaqfirullahal adziim”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar